Baris Hujan...

on Kamis, 05 Februari 2009


Menanti hujan reda, entah kapan reda...
Ku lamunkan wajahmu pada setiap baris hujan yang jatuh..,
Mengetuk-ngetuk detak sepiku...

Senyummu mampu menulis baris menjadi kalimat indah sepiku...
Pada setiap kalimat hujan yang kubaca sebagai genangan
seperti mengantar sketsa dirimu...

Dan barangkali pula baris-baris hujan yang kini telah menjadi kalimat
Seperti sedang membaca tubuhku yang hanyut entah ke titik mana...?

8 komentar:

alien mengatakan...

hujan membasahi bumi..
sinar mentari menerangi alam memberi harapan..
usah di gusar menunggu sesuatu yg tidak pasti..
usah di kenang hujan yg telah pergi..
kembali hidup menghadapi cabaran..

(ok x)

mocca_chi mengatakan...

hiii penulis puisi, sudah lama kutinggalkan bidang itu, hanya sesekali klo sedang tidak ingin menunjukan sesuatu nyata pada orang orang



keep writing yak

Unknown mengatakan...

dan kini hujan telah reda
dirimu tlah datang memelukku erat dari belakang..
tak sempat kuucapkan selamat datang..
tapi kaupasti tahu dari bahasa tubuhku, bahwa i miss u so much...

Unknown mengatakan...

Musim hujan..

Unknown mengatakan...

kepingan hati,

saat membaca puisi ini mengapa hati ini ikut sama sepi....

waaa...tak mahu fikir dan tak mau ikut sama sepi....mau ketawa..ketawa dan ketawa...

tak mahu keluarkan apa ada dalam hati ini...yang ku tahu mau ketawa.. walau ketawa paksa...huhu.

Adhitya mengatakan...

Nice.....
Ada yang bilang kualitas puisi itu bukan dinilai dari dalamnya kata menuntun arti, tapi luasnya tafsir memaknai kata. Sehingga rangkaian kalimat menjadi hidup menuntun pembaca kelembah negeri di awan..

Salam kenal ya...

Anonim mengatakan...

puisi dan desain blognya mantap....

Anonim mengatakan...

Lidah Yang Membunuh

Ali bin Abbas Al-Baghdadi, atau lebih dikenali nama Ibnu Rumi, yang hidup pada pertengahan abad ketiga hijrah, adalah seorang penyair nombor satu di zaman Abbasiah.

Suatu hari, dia duduk di majlis Qasim bin Ubaidillah, wazir Khalifah Al-Mu'tadhid Al-Abbasi. Ibnu Rumi selalu berbangga hati dengan kekuatan mantiq, bayan dan ketajaman lidahnya. Dan Qasim sangat khuatir dan takut terhadap kehebatan lidah Ibnu Rumi itu, walau tidak pernah dia tunjukkan.

Qasim berusaha, untuk bersikap biasa dan wajar terhadapnya, sehingga Ibnu Rumi sendiri, seorang yang sentiasa mengecamnya dan yang sangat berhati-hati, tidak pernah merasa khawatir untuk bergaul dengannya.

Ketika makan, Qasim secara sembunyi-sembunyi menyryuh agar hidangan Ibnu Rumi dicampuri racun. Ibnu Rumi baru menyadari justeru setelah melahap hidangannya, Serta merta dia berdiri dan ingin pergi.

"Hendak ke mana?" tanya Qasim.

"Ke tempat yang kau utus aku untuk pergi," jawab Ibnu Rumi.

"Sampaikan salam ku kepada ayah bundaku!"

"Tapi aku tidak melewati neraka jahanam!' sahut Ibnu Rumi.

Setibanya di rumah, Ibnu Rumi berusaha untuk berobat, tapi terlambat. Akhirnya dia pun menjadi korban lidahnya sendiri.